KH Dr. Hamid Fahmi Zarkasy
Westernisasi, sekularisasi, liberalisasi, Kristenisas dan lain sebagainya adalah istilah-istilah resmi. Istilah itu mengandung konsep yang bermuatan nilai, kepercayaan atau ideologi. Istilah ini juga merupakan gerakan penyebaran nilai, agama, ideologi, cara berpikir.
Dalam Islam juga terdapat istilah “Islamisasi”. Meski istilah ini baru dipopulerkan oleh al-Attas tahun 70an, prakteknya telah berjalan sejak zaman Nabi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam yang sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab praktek kehidupan Jahiliyyah di-Islamkan. Menikah disucikan, berdagang ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara khusus, kemusyrikan di-tauhid-kan.
Di dunia Melayu Islam mencerahkan worldview mitologis menjadi rasional. Buktinya banyak aspek kehidupan bangsa Melayu menggunakan istilah-istilah Arab. Nama dan jumlah hari dalam seminggu adalah hasil Islamisasi. Istilah keilmuan Islam seperti nalar, fikir, ilmu, jasmani, lahir, batin, kalbu, sadar, adil, zalim dan sebagainya diambil dari worldview Islam. Masa itu Islamisasi berjalan wajar tanpa peperangan dan resistensi.
Namun, kini istilah “Islamisasi” menjadi menakutkan dan ditolak banyak pihak secara tidak wajar. Bahkan gerakan yang berbau Islam pun segera diberi label Islamisasi. Pemberlakuan undang-undang pornografi, (PERDA) anti perjudian, pelacuran, minuman keras dan sebagainya dianggap gerakan Islamisasi.
Ketika Prof. M. Salim mengadakan pameran 1001 Inventions – Discover The Muslim Heritage In Our World, di Museum of London, ia segera dituduh melakukan Islamisasi Inggris. Di Perancis mengenakan jilbab juga dianggap Islamisasi. Jadi dunia tidak saja menolak istilah Islamisasi, tapi segala gerakan yang berbau Islam adalah upaya Islamisasi dan itu dianggap “berbahaya”.
Kasus diatas menjalar kepada gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer (Islamization of contemporary knowledge). Tidak sedikit profesor yang “alergi” dengan istilah ini.
Alasannya beragam. Fazlur Rahman menganggap ilmu itu netral dan tidak perlu di-Islamkan. Abdussalam peraih Nobel Fisika dari Pakistan juga sinis, “Jika ada Ilmu Islam, maka disana nanti akan ada ilmu Hindu, ilmu Budha, ilmu Kristen.”
Ada pula yang menyindir jika Islamisasi ilmu berhasil, maka nanti akan ada pesawat terbang Islam, sepeda motor Islam, kereta api Islam dan sebagainya.
Di Indonesia para profesor yang enggan menerima istilah itu mengganti dengan istilah “Pengilmuan Islam” atau integrasi ilmu. Konon untuk sekedar menghindari arogansi yang terkandung pada istilah “Islamisasi”.
Tapi ini justru mengesankan inferiority complex, seakan Islam itu tidak ilmiah. Sedang yang kedua masih menyisakan banyak hal. Sebab integrasi sesuatu yang kontradiktif jelas tidak mungkin. Integrasi, karena itu. harus berakhir dengan Islamisasi.
Benarkah ilmu itu netral? Jawabnya tentu tidak. Para saintis Barat sekelas Thomas Kuhn percaya bahwa ilmu itu sarat nilai. Jika netral mengapa ilmu politik Amerika tidak laku di Rusia, dan mengapa ilmu waris dalam Islam tidak dipakai saja di Barat.
Sejarah ilmu membuktikan bahwa ilmu tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, masing-masing worldview berpengaruh besar dalam menentukan asumsi dasar ilmu, meski dalam beberapa aspek metodologinya bisa sama.
David K. Naugle dalam bukunya Worldview, History of Concept juga sepakat. Namun menurutnya “Pengaruh worldview terhadap epistemologi berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Ilmu sosial lebih banyak dibanding ilmu eksak.
Karena ilmu tidak netral itulah maka Islamisasi menjadi mungkin. Konsepnya, Profesor Naquib al-Attas, cukup sederhana.
Pertama,Mengeluarkan elemen-elemen asing dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang tidak sesuai dengan Islam. Tentu elemen itu tidak sedikit, karena menyangkut proses epistemologi, seperti interpretasi fakta-fakta, formulasi teori, metode, konsep, aspek-aspek nilai dan etika, dan lain sebagainya.
Kedua, Memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep itu adalah konsep tentang din, manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), amal yang benar (amal sebagai adab) dan sebagainya.
Karena Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer itu mungkin, maka Islamisasi Ilmu ekonomi konvensional itu sebuah keniscayaan. Kini seluruh dunia menerima ekonomi Islam (syariat) itu ada. Dan itu sebenarnya adalah hasil integrasi dan Islamisasi yang telah, sedang dan terus berlangsung.
Kalau kita konsisten, maka Islamisasi berbagai disiplin ilmu kontemporer juga mungkin. Hanya masalahnya, tidak semua ilmuwan Muslim menguasai epistemologi dan tahu kerancuan epistemologis ilmu-ilmu sekuler. Wajar jika mereka anti Islamisasi. Mungkin benar kata pepatah Arab bahwa manusia itu adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya (al-nas a‘daa’u ma jahiluu).
source: http://hamidfahmy.com/islamisasi-sains/
islamisasi sains
Westernisasi, sekularisasi, liberalisasi, Kristenisas dan lain sebagainya adalah istilah-istilah resmi. Istilah itu mengandung konsep yang bermuatan nilai, kepercayaan atau ideologi. Istilah ini juga merupakan gerakan penyebaran nilai, agama, ideologi, cara berpikir.
Dalam Islam juga terdapat istilah “Islamisasi”. Meski istilah ini baru dipopulerkan oleh al-Attas tahun 70an, prakteknya telah berjalan sejak zaman Nabi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam yang sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab praktek kehidupan Jahiliyyah di-Islamkan. Menikah disucikan, berdagang ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara khusus, kemusyrikan di-tauhid-kan.
Di dunia Melayu Islam mencerahkan worldview mitologis menjadi rasional. Buktinya banyak aspek kehidupan bangsa Melayu menggunakan istilah-istilah Arab. Nama dan jumlah hari dalam seminggu adalah hasil Islamisasi. Istilah keilmuan Islam seperti nalar, fikir, ilmu, jasmani, lahir, batin, kalbu, sadar, adil, zalim dan sebagainya diambil dari worldview Islam. Masa itu Islamisasi berjalan wajar tanpa peperangan dan resistensi.
Namun, kini istilah “Islamisasi” menjadi menakutkan dan ditolak banyak pihak secara tidak wajar. Bahkan gerakan yang berbau Islam pun segera diberi label Islamisasi. Pemberlakuan undang-undang pornografi, (PERDA) anti perjudian, pelacuran, minuman keras dan sebagainya dianggap gerakan Islamisasi.
Ketika Prof. M. Salim mengadakan pameran 1001 Inventions – Discover The Muslim Heritage In Our World, di Museum of London, ia segera dituduh melakukan Islamisasi Inggris. Di Perancis mengenakan jilbab juga dianggap Islamisasi. Jadi dunia tidak saja menolak istilah Islamisasi, tapi segala gerakan yang berbau Islam adalah upaya Islamisasi dan itu dianggap “berbahaya”.
Kasus diatas menjalar kepada gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer (Islamization of contemporary knowledge). Tidak sedikit profesor yang “alergi” dengan istilah ini.
Alasannya beragam. Fazlur Rahman menganggap ilmu itu netral dan tidak perlu di-Islamkan. Abdussalam peraih Nobel Fisika dari Pakistan juga sinis, “Jika ada Ilmu Islam, maka disana nanti akan ada ilmu Hindu, ilmu Budha, ilmu Kristen.”
Ada pula yang menyindir jika Islamisasi ilmu berhasil, maka nanti akan ada pesawat terbang Islam, sepeda motor Islam, kereta api Islam dan sebagainya.
Di Indonesia para profesor yang enggan menerima istilah itu mengganti dengan istilah “Pengilmuan Islam” atau integrasi ilmu. Konon untuk sekedar menghindari arogansi yang terkandung pada istilah “Islamisasi”.
Tapi ini justru mengesankan inferiority complex, seakan Islam itu tidak ilmiah. Sedang yang kedua masih menyisakan banyak hal. Sebab integrasi sesuatu yang kontradiktif jelas tidak mungkin. Integrasi, karena itu. harus berakhir dengan Islamisasi.
Benarkah ilmu itu netral? Jawabnya tentu tidak. Para saintis Barat sekelas Thomas Kuhn percaya bahwa ilmu itu sarat nilai. Jika netral mengapa ilmu politik Amerika tidak laku di Rusia, dan mengapa ilmu waris dalam Islam tidak dipakai saja di Barat.
Sejarah ilmu membuktikan bahwa ilmu tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, masing-masing worldview berpengaruh besar dalam menentukan asumsi dasar ilmu, meski dalam beberapa aspek metodologinya bisa sama.
David K. Naugle dalam bukunya Worldview, History of Concept juga sepakat. Namun menurutnya “Pengaruh worldview terhadap epistemologi berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Ilmu sosial lebih banyak dibanding ilmu eksak.
Karena ilmu tidak netral itulah maka Islamisasi menjadi mungkin. Konsepnya, Profesor Naquib al-Attas, cukup sederhana.
Pertama,Mengeluarkan elemen-elemen asing dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang tidak sesuai dengan Islam. Tentu elemen itu tidak sedikit, karena menyangkut proses epistemologi, seperti interpretasi fakta-fakta, formulasi teori, metode, konsep, aspek-aspek nilai dan etika, dan lain sebagainya.
Kedua, Memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep itu adalah konsep tentang din, manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), amal yang benar (amal sebagai adab) dan sebagainya.
Karena Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer itu mungkin, maka Islamisasi Ilmu ekonomi konvensional itu sebuah keniscayaan. Kini seluruh dunia menerima ekonomi Islam (syariat) itu ada. Dan itu sebenarnya adalah hasil integrasi dan Islamisasi yang telah, sedang dan terus berlangsung.
Kalau kita konsisten, maka Islamisasi berbagai disiplin ilmu kontemporer juga mungkin. Hanya masalahnya, tidak semua ilmuwan Muslim menguasai epistemologi dan tahu kerancuan epistemologis ilmu-ilmu sekuler. Wajar jika mereka anti Islamisasi. Mungkin benar kata pepatah Arab bahwa manusia itu adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya (al-nas a‘daa’u ma jahiluu).
source: http://hamidfahmy.com/islamisasi-sains/
islamisasi sains
Tidak ada komentar:
Posting Komentar